Dasar Hukum Hak Tanggungan
Adanya
unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya
tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan
ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum
tersebut. Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam
hukum dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang
dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal,
lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek
Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan
Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan – ketentuan
KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu misalnya mengenai
hak – hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai
asas – asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam
Hipotik dan Credietverband.[1]
Dengan
berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi
hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak
Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak
milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat
dibebaninya. Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek
Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi
salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.[2]
Munculnya istilah
Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang berkaitan
dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996. Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan
pengertian dari Hak Tanggungan.
"Hak
Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut
atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor
lainnya”
Dengan
lahirnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan
akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan
tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai
jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak
Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan
pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda – benda
berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu
kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula
dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan
pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan
bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya
meliputi benda-benda tersebut.[3] Penerapan asas
tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan
perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu
UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda
diatasnya sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah
bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
[3] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik
dan Kepatutan Dalam Perjanjian, (Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1986),
hal. 52
No comments:
Post a Comment